Membawa Beban Tak Kasat Mata: Kisah Jurnalis di Era Pilkada

Loading

SENJA mulai turun di kota Tuah Bumi Untung Banua. Lampu jalan mulai menyala, menerangi poster-poster calon kepala daerah yang bertebaran di setiap sudut kota. Di sebuah kedai kopi yang tersembunyi di gang sempit, Andi—bukan nama sebenarnya—duduk dengan secangkir kopi yang sudah setengah dingin di hadapannya. Matanya menerawang, seolah memikirkan sesuatu yang berat.

Andi adalah seorang wartawan di salah satu media lokal. Selama karirnya, ia telah meliput berbagai peristiwa penting, mulai bencana alam hingga pergantian kekuasaan. Namun, Pilkada kali ini terasa berbeda. Ada beban yang tak kasat mata yang menggantung di pundaknya.

“Dulu, menulis berita itu mudah. Kita lihat fakta, kita tulis apa adanya. Sekarang? Ah, sudahlah,” ujarnya sambil tersenyum getir.

Andi kemudian mulai bercerita tentang dilema yang dihadapinya dan rekan-rekan seprofesinya menjelang Pilkada. Persaingan antar media yang semakin ketat, ditambah tekanan ekonomi akibat persaingan usaha yang tidak lagi sehat, telah mendorong banyak wartawan melewati situasi yang sulit. Ketika pena wartawan berbalik arah. Ada yang rela menggadaikan idealismenya demi bertahan hidup atau sekadar mencari untung. Menukar karya jurnalistiknya dengan berita berbayar hanya untuk menyenangkan pasangan calon yang dijagokannya. Tentu ini pilihan bagi mereka yang tak punya idealisme.

“Bayangkan, berapa sih pendapatan kami ini, bukan 2 ataupun 3 digit. Lalu datang tawaran dari tim sukses calon ini dan itu. Amplop tebal, janji-janji manis. Siapa yang tidak tergoda?” ungkap Andi.

Namun, godaan materi bukanlah satu-satunya faktor. Situasi ini tentu bertentangan dengan kode etik jurnalistik yang menekankan independensi dan objektivitas. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik Indonesia dengan jelas menyatakan bahwa wartawan Indonesia harus bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Namun realitas di lapangan seringkali berbeda.

“Ada teman yang terang-terangan menjadi tim media salah satu calon. Ada yang lebih halus, main cantik dengan menulis berita yang seolah-olah netral padahal sudah diatur sedemikian rupa untuk menguntungkan calon tertentu,” ungkap Andi.

Praktik semacam ini tentu berdampak serius terhadap kualitas informasi yang diterima masyarakat. Publik yang seharusnya mendapat informasi berimbang untuk menentukan pilihan politik mereka, justru tanpa sadar ‘digiring’ ke arah tertentu.

“Saya pernah menulis investigasi tentang kasus yang melibatkan salah satu calon. Bukti-buktinya kuat. Tapi tidak pernah direspons dengan baik. Instansi terkait terkesan menutupi, pemerintah daerah bungkam. Malah saya yang kena dampak negatif” kenang Andi.

Pengalaman seperti ini, menurutnya, perlahan-lahan mengikis idealisme para jurnalis. Di sisi lain, ada juga wartawan yang tetap berpegang teguh pada etika profesi mereka. Mereka memilih untuk tetap independen meskipun harus berhadapan dengan berbagai kesulitan.

“Beberapa rekan memilih keluar dari media mainstream dan membuat media independen online. Gajinya mungkin tidak seberapa, tapi mereka bisa tidur nyenyak di malam hari,” ujar Andi.

Fenomena wartawan yang tidak netral ini bukan hanya terjadi di tingkat lokal. Di tingkat nasional pun, polarisasi politik seringkali tercermin dalam pemberitaan media-media besar. Hal ini semakin diperparah dengan maraknya media abal-abal dan berita hoax yang sengaja disebarkan untuk kepentingan politik tertentu. Lantas, apa solusinya? Andi mengaku tidak punya jawaban pasti.

“Mungkin perlu ada reformasi besar-besaran dalam industri media. Mungkin juga perlu edukasi politik yang lebih baik untuk masyarakat agar lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima,” ujarnya.

Saat kopi di cangkirnya telah benar-benar kering, Andi pun beranjak pergi. Tak terasa petang menyapanya. Ia lalu bergegas menyiapkan liputan malam berkenaan dengan pemilihan kepala daerah.

“Doakan saja saya bisa menulis dengan jujur,” katanya sambil tersenyum, entah pada siapa.

Kisah Andi adalah potret kecil dari dilema besar yang dihadapi insan pers di tengah hiruk pikuk Pilkada. Sebuah pengingat bahwa di balik berita-berita yang kita baca setiap hari, ada pergulatan etis dan moral yang tak terlihat. Bahwa objektivitas dalam dunia yang semakin terpolarisasi ini, adalah sebuah perjuangan yang tak pernah usai.(Q)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini