Menuntut Fatsun di Tengah Krisis Moral Elit Politik

FATSUN dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sopan santun, sehingga fatsun politik memiliki arti etika politik yang santun. Etika politik yang santun tentu menjadi oase di tengah kegersangan post-truth saat ini. (dok: newscorner)

Loading

Kutai Timur – FATSUN dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sopan santun, sehingga fatsun politik memiliki arti etika politik yang santun. Etika politik yang santun tentu menjadi oase di tengah kegersangan post-truth saat ini.

Dalam banyak artikel akademis, masa atau era post-truth merupakan kondisi di mana fakta-fakta yang seharusnya menjadi landasan argumen dan kebijakan justru diabaikan. Kemudian digantikan oleh daya tarik emosional dan prasangka pribadi atau kelompok, dengan tujuan mempengaruhi opini publik.

Masa kelam ini perlahan menyumbang “budaya politik” destruktif dengan semakin bertaburnya bumbu-bumbu emosional dalam perdebatan ruang publik. Belum juga beres soal kemampuan pemerintah meramu kebijakan publik yang pro-rakyat, praktek politik post truth ini justru menjadi tantangan lainnya.

Dampaknya ialah produksi kebencian tak berujung di ruang publik melalui perdebatan kontraproduktif oleh politisi maupun pendukungnya. Perilaku ini tumbuh kian subur ketika memasuki musim pemilu. Para kandidat, politisi hingga pendukungnya saling melakukan agitasi dan propaganda untuk mempengaruhi presepsi publik. Dari sini muncul politik adu domba, kampanye hitam bahkan kekerasan.

F. Budi Hardiman mengistilahkan fenomena tersebut dengan istilah disrupsi dalam dunia politik yang sangat politis dan berujung pada prahara (Hardiman, 2021). Situasi demokrasi yang gaduh kemudian mempengaruhi bagaimana praktik politik sejatinya dilakukan. Pergeseran paradigma politik kekuasaan bermula pada pemikiran Niccolò Machiavelli yang disampaikan dalam bukunya; Il Principe, yang memuat strategi politik kotor dengan pemisahan antara dimensi moralitas dan kekuasaan.

Pandangan politik Machiavelli bahwa “yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan” dinilai melanggengkan praktek politik amoral. Pernyataan tersebut mengandung makna kontroversial bahwa dalam politik tidak ada baik dan buruk, melainkan semua kebaikan ialah apa yang menguntungkan kekuasaan.

Maka terbukti, tidak sedikit partai politik yang seharusnya menjadi penampung aspirasi masyarakat untuk melakukan kritik ketika pemerintah (baca: penguasa) sedang menyimpang sering kali melempem. Jangankan menyerukan kritik, masih banyak pula yang terang-terangan menyatakan mendukung dan siap bergabung dengan kekuasaan setelah kalah dalam arena pemilu.

“Demi persatuan bangsa”, adalah klise yang kerap terdengar dari mulut para politisi kutu loncat itu. Kemilau kekuasaan sulit dibendung nyatanya. Ada pula parpol yang tidak memiliki banyak pilihan untuk diseret masuk karena campur tangan penguasa. Banyak orang menyebut istilahnya; tersandera masalah hukum.

Lantas, masihkah perlu mengabaikan moralitas dalam politik? Di saat banyak orang kecewa, kehadiran politik yang diharapkan adalah politik yang berbasis nilai moralitas, sebab itu yang menjadi landasan untuk memperjuang nilai politik yang telah tercabut akarnya. (Rajab)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini