Larangan Rapat Instansi Pemerintah di Hotel, masih adakah?

Loading

PADA awal masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla pejabat kementerian maupun pejabat daerah diminta untuk memaksimalkan fungsi ruang rapat yang dimiliki, baik pusat maupun daerah. Pada saat itu menteri dalam negeri dijabat oleh Tjahjo Kumolo, yang telah wafat pada hari Jum’at, 1 Juli 2022.

Kebijakan itupun ditopang oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada awal jabatan periode pertama presiden Joko Widodo dijabat Yuddy Chrisnandi, menyatakan akan melanjutkan kebijakan Tentang larangan mengadakan rapat di hotel bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada semua wilayah.

Kegiatan rapat dinas supaya dilaksanakan di kantor masing-masing, ada pengecualian, misalnya rapat koordinasi yang bersifat nasional, dan tidak mungkin kegiatan itu dilaksanakan di kantor, maka tidak ada pilihan lain kecuali diijinkan di hotel.

Memang pelaksanaan rapat dinas di hotel menjadi praktis. Semua hal yang terkait dengan kegiatan itu telah diselesaikan oleh pihak hotel yang berketempatan, termasuk konsumsi maupun akomodasi lainnya. Hal itu berbeda jika kegiatan itu dilaksanakan di kantor. Sekalipun murah, dalam arti tidak perlu membayar biaya perjalanan, honorarium, dan lain-lain, maka tidak bisa digunakan untuk menghabiskan anggaran.

Selain itu, jika kegiatan tersebut dilaksanakan di kantor maka juga ada pihak lain yang dirugikan, yaitu hotel yang biasa digunakan untuk rapat itu, fee bagi oknum penyelenggara dari pihak hotel yang besarnya bisa mencapai 40 persen yang biasa diterima pejabat pemberi kerja.

Trend rapat di Hotel, terutama di akhir tahun anggaran, hotel di semua kota menjadi penuh. Berbagai jenis kegiatan pemerintah, mulai dari rapat kerja, pelatihan, workshop, dan bentuk lainnya dilaksanakan di hotel.

Memang agak aneh, sekedar menghabiskan anggaran, ternyata bagi instansi pemerintah dirasa tidak mudah. Sekalipun sudah berada di ujung akhir tahun anggaran, mereka menyelenggarakan rapat kerja. Padahal kegiatan semacam itu seharusnya dilaksanakan di awal tahun. Birokrasi yang seharusnya rasional menjadi tidak logis. Kegiatannya diada-adakan agar sekedar bisa berhasil mencairkan anggaran, atau kejar target habiskan anggaran. Sesuatu yang jelas terasa salah, tetapi biasanya dicarikan pembenar. Birokrasi menjadi mahal dan diliputi suasana kepura-puraan.

Menteri Dalam Negeri kala itu juga meminta seluruh stafnya untuk memaksimalkan fungsi ruang rapat di Kementerian Dalam Negeri, termasuk rapat bersama para kepala daerah. Ia melarang karyawannya mengadakan rapat di hotel.

Mengambil tempat untuk rapat dinas di hotel memang menyenangkan. Paling tidak, semua pegawai yang terkait dengan rapat atau kegiatan dinas itu bisa diselesaikan oleh pihak hotel. Dengan demikian, semua pihak akan konsentrasi pada pekerjaan rapat dinas. Selesai rapat mereka bisa jalan-jalan refreshing di kota itu. Oleh karena itu, sekalipun berbiaya lebih mahal, maka akan mengurangi beban yang harus ditanggung pegawai. Namun, dampak dari rapat di hotel akan mengganggu suasana batin banyak orang di kantor, terutama bagi mereka yang tidak diikutkan dalam rapat di hotel.

Ketika kegiatan kedinasan dilaksanakan di hotel, maka sebenarnya ada sesuatu yang seharusnya dipelihara tetapi terabaikan, yaitu kebersamaan. Tidak akan mungkin kegiatan di hotel itu mengikutkan semua orang. Bagi mereka yang tidak diikutkan, maka akan merasa ditinggalkan. Perasaan seperti itu, dan apalagi dialami oleh sebagian besar orang, maka akan berdampak mematikan semangat kebersamaan dan juga partisipasi dalam menjalankan tugas.

Lembaga yang sehat adalah manakala di dalamnya tumbuh kebersamaan dan partisipasi stafnya tinggi. Semua merasa diajak serta dan tidak ada yang ditinggalkan. Kegiatan di hotel itu akan mengganggu perasaan bagi orang yang ditinggalkan itu. Oleh karena itu, kegiatan yang bersifat kedinasan, ketika menggunakan fasilitas hotel, sebenarnya bukan saja berdampak mahal dan boros, tetapi juga mengganggu rasa kebersamaan yang seharusnya ditumbuh-kembangkan bersama.

Oleh karena itu, keputusan pemerintah kabinet awal Joko Widodo – Jusuf Kalla dikala itu, melarang mengadakan kegiatan dinas di hotel, memiliki makna strategis, yakni merubah mental dan sekaligus memperbaiki suasana birokrasi pemerintah.

Dari segi pelaksanaan jika rapat di hotel seharusnya waktu yang bisa dimaksimalkan cukup satu hari, ini bisa menjadi 3 hari minimal. Hari pertama cek in, malamnya pembukaan, hari kedua pelaksanaan, hari ketiga baru bubaran. Sangat tidak efektif.

Apakah kebijakan larangan rapat di hotel tersebut masih dipertahankan hingga akhir periode kedua Presiden Joko Widodo, atau ketentuan itu sudah dihilangkan, sehingga paska pandemi covid-19 pelaksanaan Rapat di hotel yang seharusnya bisa diadakan di daerah justru ramai-ramai keluar daerah.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini